Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 Indonesia sempat diwarnai dengan aksi-aksi teror yang menyebabkan Indonesia kerap kali mendapatkan travel warning akibat ketidak setabilan keamanan dalam negeri. Sehingga pada tahun 2002 tercetuslah suatu gagasan dari US Secretary of State, Colin Powell dalam kunjungannya di Jakarta dalam rangka menjalin hubungan bilateral dalam hal militer dan keamanan setelah embargo Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia berakhir.[1] Gagasan tersebut akhirnya diaplikasikan juga oleh pemerintah Indonesia. AS siap memberikan bantuan untuk mengembangkan satuan khusus didalam Polri dengan bantuan dana sebesar 50 milyar Dollar AS.
Perekrutan personel pun dilaksanakan dengan seleksi yang cukup ketat, syarat untuk menjadi Densus 88 AT selain harus mempunyai kemampuan fisik dan intelijensi diatas rata-rata, calon juga harus bebas dari kasus pelanggaran HAM. Karena itu anggota Polri yang pernah bertugas di Timor Timur tidak bisa menjadi anggota pasukan elit ini.[2] Semua persenjataan dan materi pokok yang diberikan dalam pelatihannya sama persis dengan apa yang dimiliki pasukan khusus Amerika Serikat. Detasemen Khusus 88 Anti Teror ini dirancang sebagai unit anti-teroris yang memiliki kemampuan mengatasi ancaman terorisme mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan.
Densus 88 AT berdiri dibawah jajaran Polri dengan payung hukum berupa keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 yang berisi tentang tugas serta kewenangan tugas dalam pemberantasan terorisme.[3] Selain itu, berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/756/X/2005, tentang Pengesahan Pemakaian Logo Densus 88 Anti Teror, tanggal 18 Oktober 2005,[4] pembentukan pasukan elit ini semakin sempurna.
Sebenarnya sebelum Desus 88 AT terbentuk terdapat juga pasukan yang mempunyai kualifikasi pasukan anti-teror dijajaran Polri bahkan juga merupakan special force yang bernama Detasemen Gegana Korps Brigade Mobile (Den Gegana Korbrimob) tugas dan kemampuan Den Gegana ini juga meliputi penanganan penjinak bahan peledak, pembebasan sandera bahkan intelejen sebagaimana layaknya pasukan counter terrorist. Dalam struktur bagan dilembaga Polri, Korbrimob berada diunsur pelaksanan utama pusat. Posisi Korbrimob sendiri sejajar dengan Bareskrim (badan resesrse dan kriminal), Badan Intelejen Keamanan dan Badan Pembinaan Keamanan, Korbrimob sendiri mempunyai payung hukum dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2002 Bab I pasal 4 dan 24 tentang organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berisi bahwa Korbrimob berada diunsur pelaksana utama pusat dan tugas serta fungsi Korbrimob .
Selain Polri, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga mempunyai pasukan atau unit counter terrorist ; TNI – Angkatan Darat (TNI-AD) mempunyai satuan yang terintergritas bernama Sat-81 Gultor Kopassus, TNI – Angkatan Laut (TNI-AL) mempunyai pasukan yang terintergritas bernama Denjaka dan TNI-Angkatan Udara mempunyai pasukan yang terintergritas bernama Den Bravo-90 dengan kemampuan matranya masing-masing.
Yang perlu dicatat, sebagian pasukan elit di Indonesia ternyata mempunyai rangking yang cukup tinggi didunia ; Kopassus (tiga besar pasukan khusus terbaik didunia), Brimob dan Densus 88 AT (pasukan yang mempunyai kemampuan peringkat hampir sejajar dengan Special Weapon And Tactical – SWAT di Amerika Serikat), ini bearti kemampuan Indonesia pada sisi Militer dan kepolisian dapat diperhitungkan dimata internasional.
Definisi terorisme sendiri sampai saat ini masih belum ada penyeragaman. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak upaya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.[5] Sedangkan di Indonesia mempunyai pandangan tentang definisi terorisme dan menjadi landasan pemerintah untuk melihat suatu tindakan terorisme itu sendiri, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.[6]
Oleh karena itu keberadaan pasukan anti-teror sangat dibutuhkan disuatu negara.